Selasa, 13 Juni 2017

Fayakhun Andriadi: Penuhi Human Security Warga Jakarta II



Fayakhun Andriadi menegaskan, masih tingginya jumlah masyarakat Ibukota yang miskin dan rentan terhadapnya, menjadikan pekerjaan yang tidak mudah bagi pemerintah daerah setempat. Ironinya lagi, model pendekatan terhadap penyelesaian masalah itu cenderung bersifat jangka pendek, seperti intervensi masyarakat dalam aksi sosial untuk berbagai kelompok masyarakat saja, atau intervensi pemerintah dalam bentuk bantuan beras murah untuk rakyat miskin (raskin), ataupun kegiatan-kegiatan jaring pengaman sosial dan sejenis. Jalan keluar untuk mengatasi kesulitan hidup di kalangan masyarakat diatasi dengan program dan proyek yang sifatnya dalam rangka penyelamatan saja (rescue program) seperti pelaksanaan kegiatan dana bantuan pendidikan untuk anak sekolah berupa BOS dan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat. Yang itu merupakan bagian dari wujud program pemerintah Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Keberadaan sistem perlindungan dan jaminan sosial yang sifatnya jangka panjang sustainable perlu dimiliki sehingga menjadikan ketahanan masyarakat terjaga dalam menghadapi shock. Lebih dari itu, perlindungan dan jaminan sosial itu diperlukan apabila terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya pendapatan seseorang, yang disebabkan karena memasuki usia lanjut atau pensiun, sakit, cacat, kehilangan pekerjaan, terkena bencana alam, dan sebagainya, kata Fayakhun Andriadi.
Sehingga jelaslah, membangun ketahanan sosial bagi masyarakat perlu sifatnya terus-menerus (sustainable) dan memihak kepada rakyat miskin (pro-poor). Karena terbukti dalam pembangunan ibukota Jakarta. Meski daerah ini merupakan penyumbang terbesar bagi devisa negara, namun banyak masyarakatnya yang memiliki kualitas hidup yang sangat rendah.

Human Security di Jakarta
Perlindungan dan jaminan sosial bagi warga Ibukota Jakarta belum sepenuhnya menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Hingga kini berbagai skema perlindungan dan jaminan sosial itu masih menghadapi sejumlah persoalan mendasar, ungkap Fayakhun Andriadi.
Pertama, belum adanya kepastian perlindungan dan jaminan sosial untuk setiap penduduk (WNI) agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sebagaimana yang diamanatkan dalam perubahan UUD 1945. Perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini belum mampu mencakup seluruh warga negara Indonesia, yakni baru mencakup para pekerja sektor formal (swasta, PNS, dan TNI/Polri).
Kedua, adalah belum adanya satu peraturan perundang-undangan yang melandasi pelaksanaan sistem perlindungan dan jaminan sosial. Masing-masing jenis perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini dilandasi oleh UU dan atau PP yang berbeda-beda. Hal ini selanjutnya akan menyebabkan penanganan skema perlindungan dan jaminan sosial yang ada masih terpisah-pisah dan bahkan tumpang tindih. Sebagai contoh, asuransi kesehatan di-cover oleh PT. Jamsostek, PT Askes, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM).
Ketiga, skema perlindungan dan jaminan sosial yang ada masih terbatas, sehingga benefit (kuantitas dan kualitas) yang diperoleh juga masih terbatas.
Menyangkut dengan persoalan pertama, pemerintah ibukota saat ini tidak memiliki konsep yang jelas dalam memberikan perlindungan dan jaminan sosial bagi warganya. Terbukti pemberian asuransi sosial belum mampu menjangkau masyarakat miskin ibukota yang banyak bergelut di sektor informal. Padahal penduduk Jakarta yang berada di sektor ini jumlahnya sangat banyak bila dibandingkan yang bekerja di sektor formal. Kenyataan yang sangat kasat mata adalah banyaknya peristiwa yang sangat memperihatinkan hadir di tengah-tengah kita. Sebagai contoh, belum lama ini seorang kakek miskin yang tergolek lemas di selasar RSCM selama satu bulan lebih tanpa perawatan karena tidak mampu membayar pengobatan (Kompas Online, 2 Maret 2011). Pemandangan seperti ini sangat lumrah kita temukan di RSCM yang menimpa kalangan miskin. (Bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar