Fayakhun Andriadi menegaskan, masih
tingginya jumlah masyarakat Ibukota yang miskin dan rentan terhadapnya,
menjadikan pekerjaan yang tidak mudah bagi pemerintah daerah setempat. Ironinya
lagi, model pendekatan terhadap penyelesaian masalah itu cenderung bersifat
jangka pendek, seperti intervensi masyarakat dalam aksi sosial untuk berbagai
kelompok masyarakat saja, atau intervensi pemerintah dalam bentuk bantuan beras
murah untuk rakyat miskin (raskin), ataupun kegiatan-kegiatan jaring pengaman
sosial dan sejenis. Jalan keluar untuk mengatasi kesulitan hidup di kalangan
masyarakat diatasi dengan program dan proyek yang sifatnya dalam rangka
penyelamatan saja (rescue program) seperti pelaksanaan kegiatan dana bantuan
pendidikan untuk anak sekolah berupa BOS dan pelayanan kesehatan dasar bagi
masyarakat. Yang itu merupakan bagian dari wujud program pemerintah Bantuan
Langsung Tunai (BLT).
Keberadaan sistem perlindungan dan jaminan sosial yang sifatnya
jangka panjang sustainable perlu dimiliki sehingga menjadikan ketahanan
masyarakat terjaga dalam menghadapi shock. Lebih dari itu, perlindungan dan
jaminan sosial itu diperlukan apabila terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki
yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya pendapatan seseorang, yang
disebabkan karena memasuki usia lanjut atau pensiun, sakit, cacat, kehilangan
pekerjaan, terkena bencana alam, dan sebagainya, kata Fayakhun Andriadi.
Sehingga jelaslah, membangun ketahanan sosial bagi masyarakat perlu
sifatnya terus-menerus (sustainable) dan memihak kepada rakyat miskin (pro-poor).
Karena terbukti dalam pembangunan ibukota Jakarta. Meski daerah ini merupakan
penyumbang terbesar bagi devisa negara, namun banyak masyarakatnya yang
memiliki kualitas hidup yang sangat rendah.
Human Security di Jakarta
Perlindungan dan jaminan sosial bagi warga Ibukota Jakarta belum
sepenuhnya menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Hingga kini berbagai skema
perlindungan dan jaminan sosial itu masih menghadapi sejumlah persoalan mendasar,
ungkap Fayakhun Andriadi.
Pertama, belum adanya kepastian perlindungan dan jaminan sosial
untuk setiap penduduk (WNI) agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sebagaimana
yang diamanatkan dalam perubahan UUD 1945. Perlindungan dan jaminan sosial yang
ada saat ini belum mampu mencakup seluruh warga negara Indonesia, yakni baru
mencakup para pekerja sektor formal (swasta, PNS, dan TNI/Polri).
Kedua, adalah belum adanya satu peraturan perundang-undangan yang
melandasi pelaksanaan sistem perlindungan dan jaminan sosial. Masing-masing
jenis perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini dilandasi oleh UU dan
atau PP yang berbeda-beda. Hal ini selanjutnya akan menyebabkan penanganan
skema perlindungan dan jaminan sosial yang ada masih terpisah-pisah dan bahkan
tumpang tindih. Sebagai contoh, asuransi kesehatan di-cover oleh PT. Jamsostek,
PT Askes, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM).
Ketiga, skema perlindungan dan jaminan sosial yang ada masih
terbatas, sehingga benefit (kuantitas dan kualitas) yang diperoleh juga masih
terbatas.
Menyangkut dengan persoalan pertama, pemerintah ibukota saat ini
tidak memiliki konsep yang jelas dalam memberikan perlindungan dan jaminan
sosial bagi warganya. Terbukti pemberian asuransi sosial belum mampu menjangkau
masyarakat miskin ibukota yang banyak bergelut di sektor informal. Padahal
penduduk Jakarta yang berada di sektor ini jumlahnya sangat banyak bila
dibandingkan yang bekerja di sektor formal. Kenyataan yang sangat kasat mata
adalah banyaknya peristiwa yang sangat memperihatinkan hadir di tengah-tengah
kita. Sebagai contoh, belum lama ini seorang kakek miskin yang tergolek lemas
di selasar RSCM selama satu bulan lebih tanpa perawatan karena tidak mampu
membayar pengobatan (Kompas Online, 2 Maret 2011). Pemandangan seperti ini
sangat lumrah kita temukan di RSCM yang menimpa kalangan miskin. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar